ISLAM merupakan agama yang sempurna yang memberi kedudukan dan penghormatan tinggi kepada wanita, dalam hukum ataupun masyarakat. Beberapa bukti yang menguatkan dalil bahwa ajaran Islam memberikan kedudukan tinggi kepada wanita, dapat dilihat pada banyaknya ayat Alquran yang berkenaan dengan wanita. Bahkan untuk menunjukkan betapa pentingnya kedudukan wanita, ADA surah khusus bernama An-Nisa yang artinya ‘wanita’.
Selain Alquran, terdapat pula berpuluh hadits (sunnah) Nabi Muhammad SAW yang membicarakan tentang kedudukan wanita dalam hukum dan masyarakat. Pada masyarakat yang mengenal praktik mengubur bayi wanita hidup-hidup, lalu datang ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW untuk melarang kekejian itu sebagaimana yang tertuang dalam hadist Nabi: “Yang terbaik di antara manusia adalah yang terbaik sikap dan prilakunya terhadap kaum wanita.” Atau pula: “Barangsiapa yang membesarkan dan mendidik dua putrinya dengan kasih sayang, ia akan masuk surga”.Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu” (hadits).
Dalam catatan sejarah dapat ditelusuri, ajaran Islam telah mengangkat derajat wanita sama dengan pria dalam bentuk hukum, dengan memberikan hak dan kedudukan kepada wanita yang sama dengan pria sebagai ahli waris mendiang orangtua atau keluarga dekatnya. Hukum Islam pula yang memberikan hak kepada wanita untuk memiliki sesuatu (harta) atas namanya sendiri. Padahal ketika itu kedudukan wanita rendah sekali, bahkan dalam masyarakat Arab yang bercorak patrilineal –sebelum datang Islam– wanita mempunyai banyak kewajiban, tetapi hampir tidak mempunyai hak. Wanita dianggap benda belaka, ketika masih muda ia adalah kekayaan orang tuanya, sesudah menikah ia menjadi kekayaan suaminya. Sewaktu-waktu mereka bisa diceraikan atau dimadu begitu saja. Fisiknya yang lemah, membuat wanita dipandang tak berguna karena ia tak dapat berperang mempertahankan kehormatan. Pandangan ini tentu saja merendahkan derajat wanita. Penempatan wanita yang rendah itulah kemudian menjadi salah satu hal yang diperangi dan ditinggalkan oleh ajaran Islam.
Wanita sebelum Islam
Status wanita dalam Islam akan lebih mudah dan jelas dipahami kalau kita juga melihat dan mengkaji bentangan sejarah peradaban manusia tentang bagaimana wanita diposisikan dalam masyarakat sebelum datangnya Islam. Apakah masyarakat pra-Islam memposisikan wanita sama, lebih baik atau bahkan lebih jelek?
Kemudian Nabi menambahkan: ”
SEBUAH PROSESI PRA EKSEKUSI (DILEMPAR BATU SAMPAI MATI) TERHADAP SEORANG WANITA DI DUNIA ARAB. DI MATA AKTIVIS HAM ATAU KAUM FEMINIS, PEMANDANGAN SEPERTI INI DITENTANG HABIS-HABISAN KARENA MELANGGAR HAK ASASI MANUSIA DAN DITUDING SEBAGAI AKTIVITAS BARBAR. NAMUN BAGI AGAMIS, INI ADALAH SYARIAT ISLAM YANG SUKA ATAU TIDAK HARUS DILAKSANAKAN. AKIBATNYA HUKUMAN MATI MENJADI TOPIK PERDEBATAN PANJANG DAN SEAKAN PERANG ANTARA PAHAM: AGAMA VERSUS HUMAN RIGHTS. FOTO REPRO |
Menurut Jawad (1998) sejarah peradaban manusia mencatat bahwa kedudukan wanita, sebelum datangnya Islam, sangat mengkhawatirkan dan rendah sekali. Bahkan wanita tidak lebih dipandang sebagai makhluk pembawa sial dan memalukan serta tidak mempunyai hak untuk diposisikan di tempat yang terhormat dalam masyarakat. Praktek yang inhuman ini tercatat berlangsung lama dalam sejarah peradaban masyarakat jahiliyah.
Mendeskripsikan status wanita Yunani kuno, Badawi (1990) menulis: “Athenian women were always minors, subject to some male…”. Dalam tradisi Hindu, sebagaimana tertulis dalam The Encyclopaedia Britannica, bahwa ciri seorang isteri yang baik adalah wanita yang pikiran, perkataan, dan seluruh tingkah lakunya selalu patuh pada suaminya, apapun sikap yang ditunjukkan oleh suaminya. Dalam tradisi dan hukum Romawi Kuno bahkan disebutkan bahwa wanita adalah makhluk yang selalu tergantung kepada laki-laki. Jika seorang wanita menikah, maka dia dan seluruh hartanya secara otomatis menjadi milik sang suami. Ini hampir sama dengan yang tertulis dalam English Common Law, …all real property which a wife held at the time of a marriage became a possession of her husband.
Dalam tradisi Arab, kondisi wanita menjelang datangnya Islam bahkan lebih memprihatinkan. Wanita di masa jahiliyah dipaksa untuk selalu taat kepada kepala suku atau suaminya. Mereka dipandang seperti binatang ternak yang bisa di kontrol, dijual atau bahkan diwariskan. Arab jahiliyah terkenal dengan tradisi mengubur bayi wanita hidup-hidup dengan alasan hanya akan merepotkan keluarga dan mudah ditangkap musuh yang pada akhirnya harus ditebus. Dalam dunia Arab jahiliyah juga dikenal tradisi tidak adanya batasan laki-laki mempunyai isteri. Kepala suku berlomba-lomba mempunyai isteri sebanyak-banyaknya untuk memudahkan membangun hubungan famili dengan suku lain. Ali Asghar Engineer (1992) bahkan mencatat kebiasaan kepala suku untuk mempunyai tujuh puluh sampai sembilan puluh isteri. Budaya barbar
penguburan hidup-hidup bayi wanita dan tidak adanya batasan mempunyai isteri dilarang ketika Islam yang dibawa Rasulullah Muhammad saw datang.
ILUSTRASI HAREEM DI MASA KESULTANAN OTTOMAN TURKI. HAREEM ADALAH SISA-SISA ERA JAHILIYAH YANG HANYA MEMPERBUDAK WANITA SEBAGAI PEMUAS SEKS RAJA ATAU LAKI-LAKI TERHORMAT MASA ITU. LALU ISLAM DATANG MELALUI NABI MUHAMMAD UNTUK MENGANGKAT DERAJAT KAUM WANITA. | foto: ottomanempire |
Tradisi lain yang berkembang di masyarakat jahiliyyahPertama adalah nikah al-dayzan, dalam tradisi ini jika suami seorang wanita meninggal, maka anak laki-laki tertuanya berhak untuk menikahi ibunya. Jika sang anak berkeinginan untuk menikahinya, maka sang anak cukup melemparkan sehelai kain kepada ibunya dan secara otomatis dia mewarisi ibunya sebagai isteri. Kedua, zawj al-balad, yaitu dua orang suami sepakat untuk saling menukar isteri tanpa perlu adanya mahar. Ketiga adalah zawaj al istibda. Dalam hal ini seorang suami bisa dengan paksa menyuruh isterinya untuk tidur dengan lelaki lain sampai hamil dan setelah hamil sang isteri dipaksa untuk kembali lagi kepada suami semula. Dengan tradisi ini diharapkan sepasang suami isteri memperoleh “bibit unggul” dari orang lain yang dipandang mempunyai kelebihan.
Dari pemaparan bentuk-bentuk tradisi masyarakat pra-Islam terhadap wanita diatas kita bisa berasumsi bahwa wanita sebelum Islam sangat dipandang rendah dan tidak dianggap sebagai manusia, mereka lebih dipandang sebagai barang seperti harta benda. Dengan asumsi ini kita dengan mudah akan melihat bagaimana Islam memposisikan wanita dan mencoba menghapus tradisi jahiliyah tersebut.
Islam menjunjung tinggi martabat wanita
Dienul Islam sebagai rahmatal lil’alamin, menghapus seluruh bentuk kekejaman yang menimpa kaum wanita dan mengangkat derajatnya sebagai martabat manusiawi. Diantara martabat wanita yang dijunjung tinggi dalam islam adalah:
Pertama, timbangan kemulian dan ketinggian martabat di sisi Allah adalah takwa, baik laki-laki maupun perempuan sebagaimana yang terkandung dalam Q.S Al Hujurat: 33.Lebih dari itu Allah menegaskan dalam firman-Nya yang lain (artinya):“Barangsiapa yang mengerjakan amalan shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl: 97);
Kedua, kedudukan wanita sama dengan pria dalam pandangan Allah (QS Al-Ahzab:35, Muhammad:19). Persamaan ini jelas dalam kesempatan beriman, beramal saleh atau beribadah (shalat, zakat, berpuasa, berhaji) dan sebagainya.
Ketiga, kedudukan wanita sama dengan pria dalam berusaha untuk memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaannya (QS An-Nisa:4 dan 32).
Keempat, Kedudukan wanita sama dengan pria untuk menjadi ahli waris dan memperoleh warisan, sesuai pembagian yang ditentukan (QS An-Nisa:7).
Kelima, kedudukan wanita sama dengan pria dalam memperoleh pendidikan dan ilmu pengetahuan: “Mencari/menuntut ilmu pengetahuan adalah kewajiban muslim (termasuk pria dan wanita” (Hadits).
Keenam, kedudukan wanita sama dengan pria dalam kesempatan untuk memutuskan ikatan perkawinan, kalau syarat untuk memutuskan ikatan perkawinan itu terpenuhi atau sebab tertentu yang dibenarkan ajaran agama, misalnya melalui lembaga fasakh dan khulu’, seperti suaminya zhalim, tidak memberi nafkah, gila, berpenyakit yang mengakibatkan suami tak dapat memenuhi kewajibannya dan lain-lain.
Ketujuh, wanita adalah pasangan pria, hubungan mereka adalah kemitraan, kebersamaan dan saling ketergantungan (QS An-Nisa:1, At-Taubah:71, Ar-Ruum:21, Al-Hujurat:13). QS Al-Baqarah:2 menyimbolkan hubungan saling ketergantungan itu dengan istilah pakaian; “Wanita adalah pakaian pria, dan pria adalah pakaian wanita”.
Kedelapan, Kedudukan wanita sama dengan kedudukan pria untuk memperoleh pahala (kebaikan bagi dirinya sendiri), karena melakukan amal saleh dan beribadah di dunia (QS Ali Imran:195, An-Nisa:124, At-Taubah:72 dan Al-Mu’min:40). Amal saleh di sini maksudnya adalah segala perbuatan baik yang diperintahkan agama, bermanfaat bagi diri sendiri, masyarakat, lingkungan hidup dan diridhai Allah SWT.
Kesembilan, hak dan kewajiban wanita-pria, dalam hal tertentu sama (QS: Al Baqarah:228,Taubah:71) dan dalam hal lain berbeda karena kodrat mereka yang sama dan berbeda pula (QS Al-Baqarah:228, An-Nisa:11 dan 43). Kodratnya yang menimbulkan peran dan tanggung jawab antara pria dan wanita, maka dalam kehidupan sehari-hari –misalnya sebagai suami-isteri– fungsi mereka pun berbeda. Suami (pria) menjadi penanggungjawab dan kepala keluarga, sementara isteri (wanita) menjadi penanggungjawab dan kepala rumah tangga.Menurut ajaran Islam, seorang wanita tidak bertanggungjawab untuk mencari nafkah keluarga, agar ia dapat sepenuhnya mencurahkan perhatian kepada urusan kehidupan rumah tangga, mendidik anak dan membesarkan anak. Walau demikian, bukan berarti wanita tidak boleh bekerja, menuntut ilmu atau melakukan aktivitas lainnya. Wanita tetap memiliki peranan (hak dan kewajiban) terhadap apa yang sudah ditentukan dan menjadi kodratnya.Sebagai anak (belum dewasa), wanita berhak mendapat perlindungan, kasih sayang dan pengawasan dari orangtuanya. Sebagai isteri, ia menjadi kepala rumah tangga, ibu, mendapat kedudukan terhormat dan mulia. Sebagai warga masyarakat dan warga negara, posisi wanita pun sangat menentukan. “Wanita adalah tiang negara, apabila wanita baik maka baiklah negara itu, tetapi apabila wanitanya buruk, maka buruk pulalah negara itu” (Hadits).
Hak wanita dalam Islam
Disamping itu, hak-hak yang bersifat ekonomis, Al-Qur’an mengarahkan adanya hak penuh bagi wanita sebelum dan sesudah menikah. Jika sebelum menikah seorang wanita memiliki kekayaan pribadi, maka begitupun setelah dia menikah. Dia mempunyai hak kontrol penuh terhadap kekayaannya. Berkenaan dengan hak ekonomis bagi wanita, Badawi (1995) menyebutkan bahwa di Eropa, sampai akhir abad 19, wanita tidak mempunyai hak penuh untuk memiliki kekayaan. Ketika seorang wanita menikah, secara otomatis harta seorang wanita menjadi milik sang suami atau kalau si isteri mau mempergunakan harta yang sebenarnya milik dia ketika belum menikah, harus mempunyai ijin dari sang suami. Badawi menunjuk kasus hukum positif Inggris sebagai contoh. Di Inggris, hukum positif tentang wanita mempunyai hak kepemilikan baru diundangkan pada sekitar tahun 1860-an yang terkenal dengan undang-undang “Married Women Property Act”. Padahal Islam telah mengundangkan hukum positif hak pemilikan wanita 1300 tahun lebih awal ( Lihat QS 4:7dan 4:32).
Mendiskusikan posisi wanita di bidang sosial, adalah penting untuk melihat bagaimana peranan wanita sebagai anak, isteri dan ibu dalam Islam. Ketika tradisi penguburan hidup-hidup bayi wanita menjamur dalam tradisi jahiliyah Arab, Islam dengan tegas melarangnya dan bahkan menganggap tradisi itu sebagai tradisi barbar yang tidak bermoral. Lebih jauh, sebagai ibu, wanita mempunyai posisi yang sangat terhormat dalam Islam. Al-Qur’an memerintahkan setiap anak yang beragama Islam untuk mempunyai respektifitas yang tinggi terhadap orang tua, terutama ibu (QS 31:14). Kegagalan untuk hormat pada orang tua termasuk pelanggaran yang berimplikasi dosa besar. Kedudukan wanita sebagai isteri pun sangat dihargai dalam Islam. Al-Qur’an dengan jelas menekankan bahwa pernikahan dalam Islam adalah love–sharing antara dua insan yang berbeda jenis dalam masyarakat dengan tujuan mempertahankan keturunan dan menciptakan spiritual-harmony (QS 30:21).
Pemaparan keadaan wanita dalam Islam diatas dengan jelas mengindikasikan bahwa posisi wanita diangkat martabatnya ketika Islam datang. Kedatangan Islam bahkan bertujuan untuk menghapus segala bentuk diskriminasi dan pelecehan harkat wanita. Fazlur Rahman (1982) menulis “… tak ada bukti sama sekali bahwa wanita dalam Islam dipandang sebagai lebih rendah dari laki-laki”.
Dalih emansipasi atau kesamarataan posisi dan tanggung jawab antara pria dan wanita telah semarak di panggung modernisasi dewasa ini. Sebagai peluang dan jembatan emas buat musuh-musuh Islam dari kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam untuk menyebarkan opini-opini sesat. “Pemberdayaan perempuan”, “Kesetaraan Gender”, “Kungkungan Budaya Patriarkhi” adalah sebagai propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak-benak wanita Islam.
Dikesankan wanita-wanita muslimah yang menjaga kehormatannya dan kesuciannya dengan tinggal di rumah adalah wanita-wanita pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat dengan jilbab atau kerudung atau menegakkan hijab (pembatas) kepada yang bukan mahramnya, direklamekan sebagai tindakan jumud (kaku) dan penghambat kemajuan budaya. Sehingga teropinikan wanita muslimah itu tak lebih dari sekedar calon ibu rumah tangga yang tahunya hanya dapur, sumur, dan kasur. Oleh karena itu agar wanita bisa maju, harus direposisi ke ruang rubrik yang seluas-luasnya untuk bebas berkarya, berkomunikasi dan berinteraksi dengan cara apapun seperti halnya kaum lelaki di masa moderen dewasa ini.
Peranan wanita dalam Al-Qur’an
Jika kita membaca Al-Qur’an, maka dapat kita ketahui bahwa penciptaan Nabi Adam as. bersamaan dengan ibu Hawa, yang berfungsi sebagai istri dan kawan hidup beliau. Kita mengetahui kisah istri Fir’aun, bahwa dialah yang dapat mencegah Fir’aun dalam niatnya untuk membunuh Nabi Musa as. Sebagaimana tercantum dalam firman Allah swt.: “Dan berkatalah istri Fir’aun, ‘(Ia) biji mata bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan dia bermanfaat bagi kita atau kita pungut menjadi anak, sedangkan mereka tidak menyadari.” (Q.s. Al-Qashash: 9).
Kita simak kisah dimana ada dua wanita di kota Madyan, keduanya putri Asy-Syekh Al-Kabir, yang diberi air minum oleh Nabi Musa as. Kemudian kedua wanita tersebut mengusulkan kepada ayahnya, supaya memberi pekerjaan kepada Nabi Musa as. karena beliau memiliki amanat (dapat dipercaya) dan fisiknya kuat. Sebagaimana yang tertera dalam firman Allah swt.: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Wahai Bapakku, ambillah dia sebagai orang yang bekerja (kepada kita), karena sesungguhnya orang yang terbaik, yang kamu ambil untuk bekerja (kepada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya’.” (Q.s. Al-Qashash: 26).
Kita simak lagi kisah ratu Balqis di negeri Yaman, yang terkenal adil dan memiliki jiwa demokrasi. Ratu ini setelah menerima surat dari Nabi Sulaiman as. yang isinya seruan untuk taat kepada Allah dan menyembah kepada-Nya, lalu dia meminta pendapat kepada kaumnya dan bermusyawarah untuk mengambil sebuah putusan bersama. Firman Allah swt.:“Berkata dia (Balqis), ‘Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini), aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku).’ Mereka menjawab, ‘Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang luar hiasa (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah yang akan kamu perintahkan’.” (Q.s. An-Naml: 32-3). Kemudian dia berkata, sebagaimana yang telah difirmankan Allah swt.: “Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang terhormat jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.” (Q.s. An-Naml: 34).
Kesimpulan dari pendapat ratu tersebut ialah bahwa penguasa-penguasa di dunia ini jika mereka hendak menguasai suatu negeri, maka mereka akan merusak dua hal, yaitu merusak negara dan moral penduduknya. Oleh karena itu, di dalam AlQur’an telah disebutkan nama-nama wanita selain wanita-wanita yang tersebut di atas, yang ada hubungannya dengan kisahnya masing-masing. Misalnya, ibu Nabi Isa as, Maryam Al-Batul.
Peranan wanita masa Nabi Muhammad
Adapun peranan wanita pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. yang kita kenal ialah yang memelihara Nabi adalah Aminah, ibu beliau; yang menyusuinya, Halima As-Sa’diyah; dan yang menjadi hadina (pengasuh) bagi beliau, Ummu Aiman r.a. dari Habasyah. Nabi saw. telah bersabda, “Bahwa dia adalah ibuku setelah ibuku sendiri.” Kemudian kita kenal Siti Khadijah binti Khuwailid r.a, wanita pertama yang beriman dan membantunya, Siti Aisyah, Ummu Salamah, dan lain-lainnya, dari Ummahaatul Mukmtniin (ibu dari kaum Mukmin), istri-istri Nabi, dan istri-istri para sahabat Rasulullah.
sebelum Islam datang adalah adanya tiga bentuk pernikahan yang jelas-jelas mendiskreditkan wanita.
KAUM FEMINIS DI EROPA SEDANG MERAYAKAN HARI WANITA. ENTAH MENGAPA PAHAM FEMINIS YANG MENGUSUNG KESETARAAN GENDER INI TERUS DITENTANG AGAMAWAN KARENA AKTIVITASNYA TIDAK MENCERMINKAN AJARAN ISLAM. DI ACEH KHUSUSNYA DAN INDONESIA UMUMNYA SOAL JENDER MASIH TERUS PRO-KONTRA KARENA DITUDING SEBAGAI VIRUS BUDAYA ‘SEMAU GUE’ ATAU ‘GUE BANGET’. | foto THEAGE.COM |
Aktivitas wanita masa kini
Sebenarnya, usaha (kiprah) kaum wanita cukup luas, meliputi berbagai hal dan berbagai bidang, terutama yang berhubungan dengan dirinya sendiri, yang diselaraskan dengan Islam, dalam segi akidah, akhlak dan masalah yang tidak menyimpang dari apa yang sudah digariskan atau ditetapkan oleh Islam. Wanita Muslimat mempunyai kewajiban untuk memperkuathubungannya dengan Allah dan menyucikan pikiran serta wataknya dari sisa-sisa pengaruh pikiran Barat. Harus mengetahui cara menangkis serangan-serangan kebatilan dan syubuhat terhadap Islam.
Harus diketahui dan disadari hal-hal yang melatarbelakanginya, mengapa dia harus menerima separuh dari bagian yang diterima oleh kaum laki-laki dalam masalah hak waris? Mengapa saksi seorang wanita itu dianggap separuh dari laki-laki? Juga harus memahami hakikatnya, sehingga iman dan Islamnya bersih, tiada keraguan lagi yang menyelimuti benak dan pikirannya.Dia harus menjalankan secara keseluruhan mengenai akhlak dan perilakunya, sesuai dengan yang dikehendaki oleh Islam. Tidak boleh terpengaruh oleh sikap dan perilaku wanita non-Muslim atau berpaham Barat. Karena mereka bebas dari pikiran dan peraturan-peraturan sebagaimana yang ada pada agama Islam. Mereka tidak terikat pada perkara halal dan haram, baik dan buruk.
Banyak diantara kaum wanita muslim saat ini yang meniru pola tingkah wanita non muslim, misalnya memanjangkan kuku yang menyerupai binatang buas, pakaian mini, tipis (transparan), atau setengah telanjang, dan kesan urakan lainya. Nabi saw. telah bersabda: “Janganlah kamu menjadi orang yang tidak mempunyai pendirian dan berkata, ‘Aku ikut saja seperti orang-orang itu. Jika mereka baik, aku pun baik; jika mereka jahat, aku pun jadi jahat.’ Tetapi teguhkan hatimu dengan keputusan bahwa jika orang-orang melakukan kebaikan, maka aku akan mengerjakannya; dan jika orang-orang melakukan kejahatan, maka aku tidak akan mengerjakan”.Wallahu’alam [] ed-helb/AI/190309
@Dimaz: banyak bacot loe
panjang bgt gtl….
ga sempet baca
mampir doank ya…
Usiee semangat ……..
jangan Menyerah ,,,,,,
Syukuri apa yang ada
hidup adalah anugrah
tetap jalani hidup ini melakukan hal yang terbaik…….
Subhanalloh…semoga artikel ini banyak yang baca,sehingga lebih banyak lagi yang sadar betapa mulianya wanita dalam naungan Islam. Mereka para musuh-musuh Alloh swt,sampai kapanpun tidak pernah akan rela jika Islam yang mulia ini menjadi kiblat dunia…padahal mereka sudah benar2 sadar bahwa hukum2 dalam Islam sangatlah indah. Sebaik-baiknya hukum adalah hukum ciptaan Alloh swt…jadi wahai ukhti,jangan pernah ragu untuk selalu berada dalam hukum Islam yang mulia ini. Jazakillah buat artikelnya……
Amien…